Jumat, 23 September 2011

Izinkan Aku Menciummu, Ibu

Sewaktu masih kecil, aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya.
Ia selalu
menyuruhku mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya setiap
pagi dan sore.
Setiap hari, aku 'dipaksa' membantunya memasak di pagi buta
sebelum ayah dan adik-adikku bangun.
Bahkan sepulang sekolah, ia tak
mengizinkanku bermain sebelum semua pekerjaan rumah dibereskan.
Sehabis makan,
aku pun harus mencucinya sendiri juga piring bekas masak dan makan yang lain.
Tidak jarang aku merasa kesal dengan semua beban yang diberikannya hingga setiap
kali mengerjakannya aku selalu bersungut-sungut.
Kini, setelah dewasa aku mengerti kenapa dulu ia melakukan itu semua. Karena aku
juga akan menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang tidak
akan pernah lepas dari semua pekerjaan masa kecilku dulu.
Terima kasih ibu,
karena engkau aku menjadi istri yang baik dari suamiku dan ibu yang dibanggakan
oleh anak-anakku.
Saat pertama kali aku masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, ia yang mengantarku
hingga masuk ke dalam kelas.
Dengan sabar pula ia menunggu.
Sesekali kulihat dari
jendela kelas, ia masih duduk di seberang sana.
Aku tak peduli dengan setumpuk
pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik, atau
hujan.
Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu.
Yang penting aku senang ia
menungguiku sampai bel berbunyi.
Kini, setelah aku besar, aku malah sering meninggalkannya, bermain bersama
teman-teman, bepergian.
Tak pernah aku menungguinya ketika ia sakit, ketika ia
membutuhkan pertolonganku disaat tubuhnya melemah.
Saat aku menjadi orang
dewasa, aku meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.
Di usiaku yang menanjak
remaja, aku sering merasa malu berjalan bersamanya.
Pakaian dan dandanannya yang
kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi.
Bahkan
seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannya agar
orang tak menyangka aku sedang bersamanya.
Padahal menurut cerita orang, sejak aku kecil ibu memang tak pernah memikirkan
penampilannya, ia tak pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia
sisihkan semua untuk membelikanku pakaian yang bagus-bagus agar aku terlihat
cantik, ia pakaikan juga perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja bulanannya.
Padahal juga aku tahu, ia yang dengan penuh kesabaran, kelembutan dan kasih
sayang mengajariku berjalan.
Ia mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh, membasuh
luka di kaki dan mendekapku erat-erat saat aku menangis.
Selepas SMA, ketika aku
mulai memasuki dunia baruku di perguruan tinggi.
Aku semakin merasa jauh berbeda
dengannya.
Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan seringkali menganggap ibu
sebagai orang bodoh, tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa.
Hingga kemudian
komunikasi yang berlangsung antara aku dengannya hanya sebatas permintaan uang
kuliah dan segala tuntutan keperluan kampus lainnya.
Usai wisuda sarjana, baru aku mengerti, ibu yang kuanggap bodoh, tak berwawasan
dan tak mengerti apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih
gelar sarjananya.
Meski Ibu bukan orang berpendidikan, tapi do'a di setiap
sujudnya, pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah kuraih. Tanpamu
Ibu, aku tak akan pernah menjadi aku yang sekarang.
Pada hari pernikahanku, ia menggandengku menuju pelaminan.
Ia tunjukkan
bagaimana meneguhkan hati, memantapkan langkah menuju dunia baru itu. Sesaat
kupandang senyumnya begitu menyejukkan, jauh lebih indah dari keindahan senyum
suamiku.
Usai akad nikah, ia langsung menciumku saat aku bersimpuh di kakinya.
Saat itulah aku menyadari, ia juga yang pertama kali memberikan kecupan
hangatnya ketika aku terlahir ke dunia ini.
Kini setelah aku sibuk dengan urusan rumah tanggaku, aku tak pernah lagi
menjenguknya atau menanyai kabarnya.
Aku sangat ingin menjadi istri yang shaleh
dan taat kepada suamiku hingga tak jarang aku membunuh kerinduanku pada Ibu.
Sungguh, kini setelah aku mempunyai anak, aku baru tahu bahwa segala kiriman
uangku setiap bulannya tak lebih berarti dibanding kehadiranku untukmu. Aku akan
datang dan menciummu Ibu, meski tak sehangat cinta dan kasihmu kepadaku.

(Bayu Gautama, Untuk Semua Ibu Di Seluruh Dunia)


7

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates